Senin, 15 Juni 2009

Akhirnya

Oleh : Safir Robbani*
Malam itu Ustadz Muh tampak termenung sambil sesekali membuka kopiahnya sambil mengusap-ngusap rambut ikalnya, “ kenapa menghindar Muh?” batinnya berkata “ kau ini Ustadz, jadi kepercayaan kyai pula, tunggu apa lagi?” batinnya tambah gelisah “ apa kau merasa gengsi dengan santri yang lain? Jangan munafik Muh?” batinnya semakin tak tenang, “Astaghfirullaahal Adziim” desah Ustadz Muh, “apa yang aku pikirkan barusan? Allaahumma Jannibni Minasyaithoni Rojiim”, cepat cepat ia pergi ke kamar mandi, Wudlu, “Alhamdulillaah, tenang rasanya setelah berwudlu”, ucapnya kemudian, digelarnya Sajadah lalu ia pun terlarut dengan kekhusyukan menghadap Illahi.
Esok harinya seperti biasanya ia mengajar Qira’ah sab’ah sehabis Shalat Shubuh yang menjadi kegiatan rutin pondok itu setiap Jum’at pagi, baru kemudian ia mengaji pada kiyai sampai kurang lebih jam 10 disaat santri yang lain bersekolah, “ Aduh tenang rasanya udah selesai ngaji” katanya pada Ustadz Muhrom, sahabat karibnya yang juga menjadi ustadz di pondok itu, “ iya nih apalagi ini hari jum’at, bisa nyantai kita sampai ashar”, “yo’i”, kemudian mereka pun kembali ke asramanya masing-masing, Ustadz Muh langsung meletakkan Kitabnya di rak buku, “wah, udah jam 10 nih sebentar lagi Shalat jum’at, mandi dulu ah, mumpung anak-anak belum pada pulang sekolah, biar gak ngantri”, sambil membuka kopiah dan baju taqwanya, diambilnya handuk lalu pergi ke kamar mandi.
Tak biasanya hari itu Ustadz Muh merasa sangat letih dan capek sehingga ia Terdidur ketika mendengarkan Khutbah Jum’at yang sebenarnya tidak terlalu lama, selesai Shalat langsung pulang ke kamarnya, tidur lelap seperti orang yang pingsan, hingga akhirnya suara Handphone nya yang membangunkannya, “Astaghfirullaah, jam berapa ini? Siapa lagi yang telpon?”, diraihnya Handphonnya yang berbunyi, “ Deg” jantungnya berdegup, “Dek Syifa? Ada apa ya?”, senang bercampur kaget, akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba, “ Assalamu Alaikum” ,suara diseberang, “Wa Alaikum Salam” jawabnya terbata-bata, gugup, “Ada Apa Dek Syifa?”, lanjutnya mencoba untuk tenang, “Enggak Kak, ini kan udah hampir jam 4 sore, kok belum datang? Jadi nggak nih ngajinya? “ kata diseberang halus, Ustadz Muh senyum-senyum sendiri, “baru kali ini dipanggil Kak biasanya dipanggil Ustadz atau Mas saja, he..he.. “, batinnya, “Halo Kak, gimana? Ngaji nggak?” lanjut diseberang, “Lha Dek Syifa ini gimana to, ini kan Jum’at Dek, libur”, “Lho katanya hari jum’at yang mau ngaji mengisi kekosongan”, Ustadz Muh mengusap keningnya, “O iya yak ok saya lupa”, “ada berapa orang yang hadir?”, lanjutnya, “Cuma Saya seorang”, suara diseberang, “wah Cuma seorang?” batinnya senang bercampur kaget, “ya udah Saya sholat ashar dulu, adek tunggu disana”, “ ya deh, Assalamu Alaikum Kak”, “Wa Alaikum Salam Wa Rohmatulloh”, Ustadz Muh bergegas mengambil air wudlu dan sholat walaupun tidak begitu khusyu seperti biasanya.
“Assalamu Alaikum”, ucapnya ketika sampai di pintu , “Wa Alaikum Salam” suara Dek Syifa, puteri bungsu pak kyai yang paling cantik, “sudah lama menunggu ya?”, “belum lama sih, tapi rasanya hampir seabad”, Ustadz Muh tersenyum “bisa aja nih puteri pak kiyai, bikin gemes aja”, batinnya, “yang mana yang kurang faham dek?”, sambil duduk dihadapan puteri pak kiyai itu, “yang ini kak”, sambil tangannya disenggolkan ke tangan Ustadz Muh, “deg” jantungnya semakin berdegup kencang, “waduuh bener-bener ngegemesin puteri pak kiyai ni, kalo halal pengen nyubit rasanya” batinnya, “eh, ma’af kak gak sengaja”, lanjut puteri pak kiyai, “disengaja juga gak apa-apa kali” batinnya berseloroh, “oh, tidak apa-apa”, sambil mencoba untuk tenang, “coba dek syifa baca dulu dan terangkan sebisanya saja”, kemudian puteri pak kiyai membaca kitab tersebut sambil sesekali menerangkan maksud dan maknanya, “apanya yang kurang faham? Hampir tidak ada yang salah”, batinnya, “tapi gak apa-apa he..he.. yang penting bisa berduaan”, lanjut batinnya.
“Allaahumma Sholli Alaa Muhammad” suara di mesjid menghentikan keduanya, Ustadz Muh agak kecewa karena kalau sudah ada Sholawat di mesjid, puteri pak kiyai yang ada dihadapannya harus segera pulang, “sialan, lagi enak-enakan ada aja yang ganggu”, gerutu batinnya, “kenapa Kakak melamun?”, pertanyaan puteri pak kiyai membuyarkan lamunannya, “eh, tidak ada apa-apa”, jawabnya sambil tersenyum sebisanya mencoba untuk tenang, “hayoo, lagi mikirin seseorang ya? Apa lagi mikirin saya?”, Ustadz Muh kaget bukan main, “darimana puteri pak kiyai ini tahu kalau saya lagi mikirin dia?”, batinnya tak tenang, “memang puteri pak kiyai ini cerdas, tak salah aku mencintainya”, lanjut batinnya, “eeh, nggak Saya Cuma lagi mikir, coba kalau yang lain juga ngaji, kan jadi ramai”, seperti biasa mencoba untuk tenang, “ooh, ya udah kak, Saya mau pulang dulu, Assalamu Alaikum”, “Wa Alaikum Salam”, jawabnya, mereka pun kembali ke tempat masing-masing.
Esok harinya setelah selesai pengajian pak Kiyai, “Rom, Zal, kita ke MU yuk, Ana traktir deh, kita makan-makan oke, ana baru aja dapat bonus dari pak kiyai”, katanya kepada Ustadz Muhrom Dan Ustadz Rizal, teman karibnya, “siip”, jawab mereka kompak, “ini sih ajakan yang susah ditolak”, lanjut ustadz Rizal, mereka pun pergi ke MU alias warung Mang Ujang, tempat biasa santri jajan atau makan minum ataupun hanya duduk nonton Televisi setelah selesai pengajian, biasanya santri menyebutnya warung MU atau MU saja singkatan dari Mang Ujang bukannya Mancester United.
Sementara itu, di rumah Pak Kiyai, Ibu Nyai yang sedang khusyuk membaca Al-Qur’an dikagetkan oleh puterinya, “Ummy”, sambil memegang pundak ibu nyai, kontan saja ibu nyai kaget, “Astaghfirullah”, “bikin kaget ummy aja”, lanjutnya, kemudian, “ada apa nih? Sepertinya anak ummy yang satu ni ada maunya?”, Tanya ibu nyai lagi, “memang ada yang mau ananda bicarakan sama ummy, ananda mau curhat”, kata Syifa sedikit malu, “ya sudah, ada apa?”, Tanya ibu nyai sambil menutup Al-Qur’an, akhirnya terjadi diskusi yang sangat menarik antara ibu dan anak, hingga akhirnya ibu nyai berkata “ ya sudah kalau begitu, ummy akan coba bicarakan dengan aba, mudah-mudahan beliau setuju”, kata ibu nyai diiringi anggukan puterinya.
Esoknya Hari minggu, merupakan hari libur bagi Ustadz Muh, meskipun Santri tetap mempunyai kegiatan yakni Pelatihan Bahasa, akan tetapi kegiatan tersebut merupakan Tugas dari Nadwah Lughah yang kebetulan Ustadz Muh tidak termasuk bagian dari Nadwah Lughah tersebut, biasanya santri mengadakan kegiatan semacam percakapan dalam bahasa Arab, Inggris dan Jerman, ataupun juga latihan di Laboratorium Bahasa yang terletak didalam komplek pondok. “hmmm, bisa santai nih hari ini”, ujar Ustadz Muh, kemudian merebahkan tubuhnya diatas kasur, pikrannya pun melayang, “sedang apa ya dek syifa? Sehari tidak bertemu rasanya kangen sekali, apa dia juga kangen sama ana?”, lamunannya terbang melayang, “Astaghfirullah, kok ana mikir macam-macam”, ucapnya sadar, kemudian dia pun bangun dari kasurnya dan duduk di depan komputernya, “daripada melamun macam-macam, mendingan ana lanjutin nulis tesis”, ujarnya pelan, ketika sedang konsentrasi menulis tesis, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk seseorang, “tuk, tuk, tuk”, suara pintu diketuk, “Assalamu Alaikum”, suara di luar, Ustadz Muh beranjak dari komputernya dengan perasaan sedikit kesal, “hmm, siapa nih ganggu aja, gak tau orang lagi konsentrasi”, keluhnya pelan, “Wa Alaikum Salam”, jawabnya kemudian dia pun membukakan pintu, “eh ente srul, ada apa? Gak ikut Lughah?”, tanya Ustadz Muh kepada orang yang mengetuk pintu tadi yang namanya Nasrullah, biasa dipanggil srul saja, “eh ikut kok tadz, cuma tadi pak kiyai nyuruh ana nganterin surat ini buat antum”, kata Nasrul sambil menyerahkan surat yang tertutup rapat kepada Ustadz Muh, “ya sudah ya tadz, ana mau balik lagi ke Nadwah, Assalamu Alaikum”, kata Nasrul sambil berlalu meninggalkan Ustadz Muh, “Wa Alaikum Salam Warahmatullah”, jawab Ustadz Muh sambil menutup pintu, kemudian Ustadz Muh membuka surat tersebut perlahan-lahan sambil hatinya bertanya-tanya, “ada apa gerangan? Sampai pak kiyai mengirim surat segala, aneh sekali, biasanya kalau beliau ada perlu tidak perlu bikin surat segala”, pikirnya, “apa jangan-jangan, beliau tahu waktu jum’at kemarin ya, tapi kan tidak terjadi apa-apa, Cuma ngajar ngaji saja”, pikirnya dengan rasa gelisah meliputi pikirannya, “gawat nih, jangan-jangan beliau marah sampai-sampai mengirim surat segala”, pikirnya semakin gelisah, “ahh, Laa Haula Walaa Quwwata illaa Billaah”, ucapnya kemudian, “apapun yang akan terjadi ana serahkan aja ama Allah deh”, ucapnya mencoba menenangkan diri, “sekarang, mendingan ana tidur dulu, biar ntar dzuhur bangun seger”, lanjutnya kemudian sambil merebahkan diri di atas kasurnya.
Usai shalat dzuhur, Ustadz Muh melangkahkan kakinya ke rumah pak kiyai, dibuatnya perasaannya setenang mungkin walaupun hatinya berdebar-debar tidak tenang dan perasaan khawatir menyelimuti perasaannya, setelah benar-benar sampai di depan pintu rumah pak kiyai, dia pun mengetuk pintu tiga kali, “tuk, tuk, tuk, “, “Assalamu Alaikum”, ucapnya mantap, “Wa Alaikum Salam”, sambil membukakan pintu dan, “deg”, jantungnya berdegup kencang karena yang membukakan pintu adalah puteri pak kiyai, “oh kak ustadz, mari silahkan, aba udah nunggu dari tadi”, lanjut puteri pak kiyai, ketika Ustadz Muh memasuki rumah pak kiyai, perasaannya semakin kacau balau walaupun disambut dengan senyuman dari pak kiyai, “duduk!”, kata pak kiyai kemudian, Ustadz Muh kelihatan gugup, pak kiyai rupanya bisa menangkap kegelisahan Ustadz Muh kemudian berseloroh, “jangan tegang gitu nak, santai saja”, kata pak kiyai sambil tersenyum, Ustadz Muh pun tersenyum sebisanya, “sebenarnya ada yang mau bapak bicarakan ama ente”, kata pak kiyai kemudian, “mengenai anak bapak, syifa”, lanjut pak kiyai, hati Ustadz Muh semakin tidak tenang, “tidak salah lagi”, pikir ustadz Muh, tapi seperti biasa dia mencoba untuk tenang setenang mungkin walaupun jantungnya berdebar-debar cukup kencang, dan kemudiah terjadilah percakapan antara seorang kiyai dan santrinya.
Keluar dari rumah pak kiyai, Ustadz Muh tersenyum senang luar biasa, sampai di asrama, dia langsung mencari dua sahabat karibnya, Ustadz Muhrom dan Ustadz Rizal, “Rom, Zal, ke Restu Bundo yuk, ana traktir”, katanya kemudian, “wah, tumben nih ke Restu Bundo, jarang-jarang nih, pasti dapat bonus lagi”, kata Ustadz Rizal, “kayaknya gede nih bonusnya”, timpal Ustadz Muhrom, “yang ini bonusnya paling gede”, kata Ustadz Muh, “apaan sih bonusnya? Penasaran nih ana, dari kemarin traktir terus”, Tanya Ustadz Rizal lagi, “alah udah ah, ayo cepat ntar keburu ashar lagi”, lanjut Ustadz Muh, “oke bos”, jawab keduanya bersamaan, akhirnya mereka pun pergi ke Restu Bundo, nama sebuah Rumah Makan Padang yang tidak jauh dari komplek pondok pesantren.
Dua minggu kemudian, terjadilah apa yang terjadi, akhirnya Ustadz Muh pun mendapatkan apa yang selama ini dia impikan, menikah dengan puteri pak kiyai, dihadapan penghulu dan para saksi, dia pun mengucapkan kalimat qabul dihadapan wali yang tidak lain adalah pak kiyai sendiri dengan sangat lancar diiringi ucapan para saksi, “sah”, gemuruh tahmid bersahutan mengiringi dua mempelai, Ustadz Muh pun tersenyum, senyum penuh rasa syukur, dia pun menoleh ke arah puteri pak kiyai yang kini sudah menjadi istrinya, puteri pak kiyai pun tersenyum kepadanya, manis sekali, akhirnya mereka berdua sama-sama tersenyum, senyuman yang penuh rasa syukur ke Hadirat Illahi Robbi.
Wallahu A’lam.
*Safir Robbani adalah nama pena dari seseorang yang suka becanda he..he...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar