Jumat, 27 Mei 2011

Hadits tentang Jenggot

Prolog
Perjalanan risalah Muhammad telah melampau lebih dari empat belas abad, sebuah masa panjang bagi ajaran yang diyakini tidak hanya memuat berbagai peraturan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga memuat berbagai peraturan hidup manusia. Perjalanan panjang sejaran Islam itu juga diiringi dengan pelintasan wilayah dan budaya yang selalu mengiringi perjalanan sejarah Islam. Interaksi Islam dengan berbagai zaman dan sejaran peradaban pada masing zaman dan tempat memaksa Islam untuk selalu bisa mengakomodir, budaya dan adat yang berlaku pada setiap jengkat bumi yang dikunjunginya. Dan Islam telah membuktikan bahwa ia bisa diterima dalam berbagai masa dan budaya hingga sampai pada zaman sekarang.
Sejarah Islam membuktikan bahwa ia harus mengakomodir segala budaya dan zaman agar bisa eksis. Hal itu diperlihatkan oleh Rosulullah dalam menyampaikan Islam pada masyarakat awal islam yaitu di dunia Arab dengan berbagai budaya dan sosio-geografis yang ada. Tanah Arab, sebagai lahan awal garapanIslam merupakan wilayah yang bukan tanpa nilai, tetapi telah terdapat nilai yang sangat komplek pada jazirah padang pasir tersebut. Budaya telah berkembang dengan aneka corak dan kekhasan Arab sebagai sebuah wilayah yang telah membentuk suatu peradaban yang mapan.
Sebagai interpretator awal Muhammad sangat mengerti keadaan masyarakat awal sehingga ia dapat dengan mudah mentransfer ajaran Islam yang universal dengan budaya lokal yang pertikular. Bentuk interpretasi tersebut diwujudkan dalam sebuah ajaran dan berbagai perintah dan larangan yang harus dipegang pada masyarakat awal tersebut sebagai sebuah ketaatan. Banyak sekali contoh yang beliau lakukan dalam mengejewantahkan nilai-nlai Islam dengan memperhatikan kondisi masyarakat serta kebutuhan yang diperlukan serta berbagai peraturan guna bernteraksi dengan masyarakat lain yang pada saat itu dikotomi antara muslim dan non-muslim sangat jelas dalam strata sosial dan budaya.
Salah satu yang cukup menarik adalah fenomena penganjuran pemeliharaan jenggot dan pencukuran kumis. Fenomena ini menjadi menarik karena perintah pemeliharaan jenggot ini banyak menjadi perhatian dan kajian masyarakat masyarakat dan banyak dipraktekkan oleh masyarakat muslim dan menjadi suatu hal yang kontra-versi sebagaimana pendapat yang berkembang dalam menanggapi “jenggotisasi” tersebut.
Hadis-hadis yang diyakini sebai sumber kedua setelah al-Qur’an tentang perintah tersbut telah banyak diriwayatkan oleh para mukharrij. Bahkan telah menjadi perdebatan akan hukum dari penyelenggaraan jenggot tersebut.
Perdebatan ini pantas untuk diangkat khususnya dalam kontek zaman yang berbeda dengan zaman nabi dan peradaban yang berbeda saat awal kedatangan islam dengan budayanya. Sehingga sangat relevan bila pembahasan tentang jenggot ini menggunakan analisis historis dan geografis.
Dalam Melihat dan memaknai suatu hadis kita dituntuk melihat keadan hadis tersebut apa ia bersifat temporal, lokal atau universal. Karena ajaran Islam memang ada yang bersifat lokal, temporar dan universal.[1]

ANALISIS MATAN

Tematik Komprehensif
Dalam meneliti sebuah tema dalam suatu kajian perlu untuk merujuk pada berbagai sumber yang memuat tentang tema tersebut. Termasuk juga dalam kajian hadis diperlukan pembandingan suatu matan dengan matan lain guna mendapatkan pemaknaan yang konprehensif pada satu kajian. Maka pada kali ini kami akan menampilkan beberapa hadis yang membahas tentang tema perintah pemeliharaan jenggot dan pemangkasan kumis
Setelah di telusuri dalam kitab Mu’jamu Mufarraz li-alfaz al-hadis dengan menggunanakan kataاللِّحَى dan الشَّارِب kami menemukan banyak hadis tentang hal tersebut, sebagaimana yang kami sebutkan beberapa di bawah ini.
Hadis dari Bukhari
5442 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
5438حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَنْظَلَةَ عَنْ نَافِعٍ ح قَالَ أَصْحَابُنَا عَنْ الْمَكِّيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ
Hadis dari Muslim
380حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي جَمِيعًا عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
383حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ مَوْلَى الْحُرَقَةِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Hadis dari Nasa’i
5131أخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحي
Hadis dari Abu Daud
3667حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
Hadis dari Ahmad
4425حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
8430حَدَّثَنَا الْخُزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَاعْفُوا اللِّحَى وَخَالِفُوا الْمَجُوسَ
Hadis dari Malik
1488و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَأَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحي
Untuk melakukan kajian Ma’ani al-hadis diperlukan kualitas hadis yang sahih dan minimal hasan dari segi sanad. Dan sekiranya sanad suatu hadis yang dikutib berkualitas tidak sohih maka perlu catatan khusus mengenai hadis tersebut.[2] Dari hadis yang dikutip di atas banyak diriwayatkan oleh para mukharrij termasuk Bukhari dan muslim. Secara umum kualitas hadis Bukhari adalah yan paling sohih dan secara umum dinilai sohih.[3]begitu juga hadis-hadis yang ada di dalam kitab sohih Muslim umumnya berkualitas sohih, atau dinilai sohih oleh sebagian besar ulama hadis[4]

Pemaknaan Hadis

Dalam redaksi hadis sebagaimana yang disebutkan di atas bayak sekali redaksi yang digunakan yang mengindikasikan pemotongan kumis yaitu انْهَكُوابِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِقَصُّ الشَّارِبِأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Kata إِحْفَاءِ mengandung satu arti [5]قَصُّyang berarti mencukur dan memotong[6].dengansedangkan yang mengindikasikan pemeliharaan jenggot yaitu وَاعْفُوا اللِّحَى dan وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
Redaksi ini bermakna membiarkan jenggot, jangan dipotong dan perlu pemliharaan
Sedangkan انْهَكُوالشَّوَارِب secara bahas bermakna mencukur bulu kumis hingga terlihat putih padanya, sedangkan وَإِعْفَاءِ اللِّحَى bermakna membiarkandan memanjangkan jenggot dan membiarkannya sebagaimana lazimnya[7]
Sebab munculnya hadis (asbabu al-Wurud)
Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibn al-Najr dari Ibnu Abbas ra, berkata bahwa segerombolan orang asing (‘ajm) menghadap rasululah dalam keadaan jenggotnya dipotong dan kumisnya dipanjangkan, maka Raulullah bersabda “ selisihilah mereka degan memotong kumis dan membiarkan jenggot. Juga dikeluarkan oleh ‘Aisyah ra, Bahwa Nabi melihat seiran laki-laki yang membiarkan kumisnya panjang maka rasulullah bersabda “berilah saya gunting dan siwak. Kemuadian Nabi manaruh siwak tersebut dipinggir kumisnya dan memotong kumis di pinggir siwak.[8]
Sedangkan bila dilihat asbababu al-wurud secara makro dapat disimpulakn bahwa keadaan masyarakat di jaziran arab sangat memungkinkan untuk menumbuhkan jenggot karena mereka dikaruniai bulu yang lebat.
Generalisasi Maqosidu al-Syari’ah
Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa timbulnya hadis tersebut dengan tujuan untuk membedakan dengan orang majusi[9], sehingga yang tujuan ini perlu mendapat perhatian dalam memahami hadis. Tujuan syariah ini seharusnya menjadi tujuan pokok dalam penerapan suatu hukum, kita dituntut untuk melihat tujuan syariah ini dalam melihat semua permasalah.

PROYEKSI KEKINIAN

Dari uraian di atas sekiranya kita dapat mengambil kesimpulkan guna mengambil suatu kesimpulkan tentang relevansi hadis-hadis tentang perintah pemeliharaan jenggot tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa maqosid al-Syari’ah hadis di atas adalah untuk membedakan umat Islam dengan umat Majusi yang selalu memanjangkan kumis serta memotong jenggot.
Menarik untuk dikaji hal tersebut, pada zaman dahulu (zaman rasulullah) terlihat dikotomi antara Muslim dan non muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan antara muslim dan non-muslim. Hadis diyakini sebagai suatu ajaran dan sabda beliau merupakan suatu hal yang harus dipenuhi pada saat itu, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh rasulullah pada saat itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Ini sangat beralasan bahwa Rasululah sangat mengetahui keadaan umatnya dan mengerti eberbagai kebutuhan yang dihadapai termasuk hubungan dengan komunitas lain. Dan jenggot merupaan sarana untuk berinteraksi dengan komunitas di luar umat Islam pada waktu itu sebagai cermin identitas.
Selalu didengungkan untuk mengikuti semua ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah). Tetap tetap menjadi persoalan bila dipertanyakan manakah yang termasuk atau hanya tradisi dan kebiasaan Arab. Walaupun perintah untuk memanjangkan jenggot dan memotong kumis untuk membedaan dan bentuk identitas di tengah interaksi dengan umat lain, tetapi tetap saja pemeliharan jenggot sangat kental dengan budaya Arab dan terpengaruh jelas dengan fisiologi tubuh orang-orang Arab.
Sebagaimana diketahui bahwa Masyarakat dan fisiologi orang Arab sangat memungkinkan untuk ditumbuhi jenggot dan kumis, sehingga pada saat itu sangat relevan pemliharaan jenggot. Apalagi umat Majusi gandrung memotong jenggot, sehingga umat Islam perlu memunculklan identitas baru yaitu identitas “jenggot”
Bila ukuran jenggot dijadikan ukuran, maka akan terlihat bahwa yang menjalankan Islam dengankaffah hanyalah orang-orang yang berjenggot dan memungkinkan untuk tumbuh jenggot dan hal itu hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang Arab dan sebagian kecil orang di luar jazirah Arab termasuk Indonesia.Maka bila ukuran tersebut diberlakukan sebagai identitas muslim maka orang Islam Indonesiadan orang serumpun tidak mempunyai identitas sebagai muslim.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Ulama bahwa dalam melihat suatu hadis dan hukum perlu melihat problem iqlimiyah (wilayah) dengan wilayah lain, akibat perbedaan kondisi, situasi,sejarah dan penalaran ulama-ulama setempat. Jika demikian halnya kita tidak dapat menghindar dari pengakuan tentang adanya ajaran Islam yang bersifat particular sebagaimana ada juga yang universal[10].
Iqlimiyah al-Islamiyah suatu kaedah yang dihadirkan oleh ulama kontemporer ini telah membuka wacana kita akan perlunya pemahaman Islam secara wilayah dan penyesuaian sejarah dan wilayah. Dalam kasus jenggot ini kita perlu melihat dan mempertimbangkan faktor wilayah dan fisiologi manusia. Dalam kontek orang palestina dan orang timur tengah sangat dimungkinkan untuk melaksanakan perintah ini karena mereka dikarunia rambut yang cukup lebat termasuk di daerah jenggot dan kumis[11].
Untuk konteks Indonesia menurut penulis tidak relevan ukuran jenggot dijadikan standar ketaatan. Di samping sosio-historis berbeda jauh dengan realitas arab pada zaman dahulu. Juga secara fisiologi masyarakat Indonesia dan umumnya Melayu tidak dikarunia pertumbuham rambut yang subur di daerah jenggot dan kumis, maka tidak etis menjadikannya sebagai sebuah anjuran.

Jenggot sebagai Bentuk Resistensi

Dalam dunia gelobal sekaran ini, selalu muncul pertentangan dan wacana yang membenturkan antara Islam di Timur dan pihak Kafir di Barat. Wacana semacam ini bukan hanya muncul sejak peristiwa11 September 2001, tetapi juga muncul sudah lama, juga saat terjadi perlawanan terhadap penjajah, seperti perjuangan Afganistan dengan Rusia pada saat itu. Sehingga umat Islam memerlukan suatu identitas, dan jenggot bisa dijadikan sebagai suatu identitas dan kebetulan rakyat Afganstan sangat memungkinkan untuk tumbuh rambut di jenggot dan kumis. Maka dalil ini setidaknya bisa dijadikan rujukan.
Sedangkan pada saat sekarang, kalau kita melihat berbagai gejolak di dunia Islam, seperti Palestina dan Irak, setidaknya perintah pemeliharaan jenggot bisa dijadikan suatu identitas. Walaupun hanya berupa identitas fisik, tetapi hal ini cukup signifikan sebagai bentuk perlawanan (resistensi) akan budaya dan hegemoni asing di daerah mereka.
EPILOG
Akhirnya kita dituntut arif dalam melihat fenomena perintah pemeliharan jenggot ini. Kalau dilihat dari maqosid Syarai’ah, pemeliharan jenggot bisa disikapi dalam dua sikap. Sikap yang perlu melaksanakan anjuran tersebut bagi yang menghadapi fenomena yang sama dengan masa Nabi, seperti pada rakyat Palestina dan Irak. Serta mengindahkan perintah tersebut bila kita memang jauh dari realitas yan ada pada zaman Nabi. Seperti rakyat Indonesia yang kebanyakan tidak disuburi rambut pada daerah kumis dan jenggot. Kita tidak perlu memaksakan menumbuhkan jenggot atau memelihara jenggot jika memang tidak diperlukan, namun apabila tetap ingin memelihara dan berusaha menumbuhkannya, maka hal itu adalah baik.

-------------------------------------------


[1] Syuhudi Ismail, Hadis Nabiyang Tekstuan dan Kontestual, Bulan Bintang 1994. hlm 4
[2] ibid hlm 7
[3] Indal Abror, Studi kitab Hadis: Kitab Shahih al-Bukhari, TH Press, Yogyakarta 2003. hlm 54
[4] Dedi Nurhaidi, Studi kitab Hadis: Kitab Shahih Muslim, TH Press, Yogyakarta 2003. hlm.74
[5] Abi Abbas Syihab al-Din Ahmad al-Qosthalani Irsyadu Syari’ Lissarihi sahih al-Bukhari Dar al-Fikr 1990, hlm 689
[6] A.H. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia, Pustakan Progresif, Yogyakarta, 1997
[7] Ibnu Hajar al-Atsqolani, Fath al-Bari fi Syarh sahih Bukhari, Maktabah Salafiyah bab Libas
[8] Syarif Ibrahim bin Muhammad Kamal al-Din as-Syahrir bin Hamzah al-Husain, al-Bayan wa al-Ta’rif fi al-asbabu al-Wurud al-Hadis al-Syarif, Bairut, Dar al-Tsiqotu al-Islamiyah 1053-1120) hlm 100
[9] ibid
[10] Shihab Qurais, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung 1995, hlm 215
                [11] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual, Bulan Bintang 1994. Jakarta, hlm 68