Minggu, 05 Juni 2011

Hukum Merokok Dari Berbagai Sudut Pandang

Merokok sudah dikenal sejak zaman dahulu, Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad kesepuluh Hijriyah. Dan semenjak masyarakat mengkonsumsinya sebagai bahan isapan mendorong para ulama pada jaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqih agar terjadi kejelasan hukum halal dan haramnya. pada dasarnya hokum merokok tidak lah ada dalam al quran dan al hadis secara jelas dan detail, melainkan hokum merokok malah menjadi kontrofersi dalam agama islam. Bahkan ada yang saling bersikeras dan kukuh terhadap pendiriannya dan hasil ijtihadnya masing-masing.  Hal tersebut terjadi karena perbedaan pandangan terhadap merokok dan perbedaan pemahaman tentang dalil yang ada dikerenakan dalil yang ada masih global. Pada dasarnya merokok adalah hal yang wajar dilakukan oleh berbagai kalangan khususnya diIndonesia tetapi beda halnya dengan yang menganut islam aliran keras ( extrim) mereka berpendapat bahwa merokok adalah tindakan yang melanggar dan dianggap hal yang tidak sewajarnya dilakukan oleh seorang muslim.  Oleh karena itu hal tersebut dianggap budaya baru yang belum banyak dibahas oleh ulamak ahli fikih secara syariah, baik oleh ulamak klasik maupun ulamak kontemporer tetapi baru baru ini terjadi perdebatan tentang hokum merokok, sesungguhnya perbedaan tersebut hanyalah dipengaruhi oleh dimensi waktu yang mana ulamak yang lebih dahulu mengonsumsi rokok dan yang belum mengonsumsi rokok. Bagi orang orang yang tahu pasti akan bahya dan madhorot rokok maka akan menjauhi bahkan mengharamkan rokok dasarnya adalah sebuah hadis
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجةdari potongan dalil tersebut dapat di fahami bahwa setiap barang atupun apapun yang membahayakan tubuh kita maka hukumnya haram. Adapun berbagai pendapat para ulamakk beserta alasannya tentang hokum merokok menurut syariah islam, adapun perbedaan mereka adalah wajar kerena perbedaan pandangan mengenai dalil dalil yang ada. Dari berbagai pendapat para ulamak dan para ahli fikih ada 4 macam klasifikasi pendapat yaitu: pendapat yang mengharamkan, makruh, boleh dan tidak member hokum tetapi menjelaskan secara detail.
I. Pendapat yang mengharamkannya
Mereka berpendapat bahwa rokok hukumnya adalah Haram menurut Syar’i, pendapat ini dinisbahkan kepada Syaikhul islam Ahmad As Sanhuri Al Bahuti Al Hanbali Al Mashri, Syaikhul Al Malikiyah Ibrahim Allagani, Abul Ghaits Al Qasyasy Al Malikiy, Najmuddin bin Badruddin bin Mufassir Al quran Assyafi’i, Ibrahim bin Jam’an dan muridnya Abu Bakr bin Ahdal Al Yamani, Abdul Malik Al ‘Ishami, Muhammad bin Alamah, Assayyid Umar Al
Bashri, Muhammad Al Khawaja dan Assayyid Sa’ad Al Balkhi Al Madani.
1. Memabukkan
Yang dimaksudkan oleh mereka dengan memabukkan yaitu benar benar menutupi akal dan menghilangkannya meskipun tanpa adanya keinginan yang kuat untuk bersenang senang dengan kata lain, memabukkan perokok denganmenyempitkan akal serta nafasnya, dan menurut mereka, tidak ada keraguan hal tersebut akan terjadi pada orang orang yang pertama mencicipinya. Olehnya itu hukumnya adalah haram dan menurut mereka, seorang yang perokok tidak boleh dijadikan imam. Mereka mendasarkan dan mengkiyaskan rokok dengan hal yang memabukkan dan mengurangi akal maka dari itu mereka berani mengharamkan rokok, dan golongan ini juga menilai rokok dari segi kesehatan.
2. Melemahkan dan Narcolepsy
Kalupun rokok itu tidak memabukkan, namun ia melemahkan si perokok dan membuatnya malas dalam bekerja, juga Narcolepsy yaitu penyakit yang ditandai dengan rasa ngantuk yang sangat kuat dan tak terkendali sebagaimana halnya orang dibius. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Ummu Salmah bahwa Rasulullah SAW melarang semua yang memabukkan dan melemahkan.
Dalil Pertama adalah firman Allah swt :
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs : al-Baqarah:195).
Dalil Kedua adalah firman Allah swt :
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (QS an-Nisa’:29)
Dalil Ketiga adalah sabda Rasulullah saw
لا ضرر و لا ضرار
“ Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain “        ( HR Ibnu Majah, Hadist Shahih )
Alasannya dan dalil dalil mereka tentang pengharamannya kembali ke tiga pokok permasalahan yang diakibatkan oleh rokok tersebut, yaitu :
Bahwa rokok sangat berbahaya dan merugikan badan para penghisapnya, serta dalam rokok ternyata terdapat banyak hal yang membahayakan jika dibandingkan dengan khomr maka rokok lebih banyak mengandung bahaya sedangkan kedudukan khomr itu sudah harom berdasarkan nash yang ada maka dengam demikian rokok menjadi haram menurut pandangan golongan ini. Dampak yang ditimbulkan rokok menurut kesehatan sangatlah berpotensi besar menggangu kesehatan pecandunya, rokok juga menimbulkan ketergantungan bagi yang sudah menjadi perokok kelas kakap.maka dari itu mereka berani menganalogikan rokok dengan khomr.
3. Berbahaya dan berdampak negatif
Bahaya dan dampak yang mereka sebutkan ada dua macam :
1.      Dampak terhadap tubuh dimana rokok tersebut akan melemahkan dan merubah warna wajah menjadi pucat serta menimbulkan berbagai macam penyakit dan mungkin akan menimbulkan penyakit TBC. Dan mereka berpendapat bahwa tidak ada perbedaan dalam pengharaman sesuatu yang berdampak negatif, baik dampak tersebut datang secara sekaligus maupun bahaya tersebut datang secara perlahan dan berangsur angsur.
2.      Dampak terhadap keuangan dimana seorang perokok akan menghambur hamburkan uangnya dan hartanya terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat bagi tubuh dan diri dan tidak juga bermanfaat di dunia dan di akherat, padahal islam telahmelarang untuk menghambur hamburkan harta kepada sesuatu yang tidakbermanfaat sebagaimana firman Allah SWT, إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا(Al Isra : 27), janganlah menghambur hamburkan harta kepada apa apa yang tidak bermanfaat karena orang yang mubazzir adalah saudaranya setan sedangkan setan itu kufur kepada Tuahannya. Mereka juga berpendapat, jika seorang perokok itu mengakui bahwa dia tidak mendapat manfaat apa pun dari rokok pasti dia akan mengharamkannya atas dirinya,bukan dari segi pemakaian dan penggunaannya melainkan dari segi materi yang dihabiskannya dalam membelanjakan rokok tersebut.
II. Pendapat yang memakruhkannya
Pendapat ini mengatakan bahwa rokok menurut hukum syar’i adalah makruh, dan pendapat ini dinisbahkan kepada Syaikh Abu Sahal Muhammad bin Al Wa’idz Al hanafi dan pengikutnya. Adapun alasan dan dalil mereka tentang pemakruhannya sebagai berikut :
1.      Perokok itu tidak akan terlepas dari bahaya yang ditimbulkan oleh rokok itu sendiri apalagi kalau berlebihan, sedikit saja berbahaya apalagi kalau banyak.
2.      Kekurangan dalam harta, artinya, meskipun si perokok tidak menghambur hamburkan dan tidak boros serta berlebihan namun hartanya telah berkurang dengan menggunakannya kepada hal hal yang kurang bermanfaat Alangkah baiknya jika uang yang dibelanjakkan untuk rokok digunakan kepada hal hal yang bermanfaat baik buat diri sendir dan orang lain.
3.      Baunya yang kurang enak dan sedap yang dapat menggangu orang di sampingnya, dan hokum memakan atau mengkonsumsinya adalah makruh, sama halanya dengan memakan bawang merah dan bawang putih.
4.      Rokok akan menyibukkan si perokok dengan menghisapnya yang dapat membuatnya lalai dalam beribadah maupun mengurangi kesempurnaan ibadahnya.
5.      Rokok akan membuat si perokok itu lemah di saat tidak mendapatkannya dan fikirannya akan terganggu oleh bisikan bisikan yang akan membuatnya salah dalam bertindak. Asyeikh Abu Sahal Muhammad bin Al Wa’idz Al hanafi kemudian berkata : Dalil dalil tentang pemakruhannya adalah dalil Qath’i sedangkan dalil tentang pengharamannya masih Dzanni, semua yang berbau tidak sedap adalah makruh sebagaimana halnya bawang dan rokok termasuk di dalamnya, kemudian beliau melarang orang orang yang
merokok untuk berjamaah di mesjid.
III. Pendapat yang membolehkannya
Golongan ini berendapat bahwa hukum rokok menurut syar’i adalah mubah (boleh), pendapat ini dinisbahkan kepada Al ‘Alamah Asyeikh Abdul Ghani Annablisi dan Syeikh Mustafa Assuyuti Arrahbani. Adapaun dalil dan alasan mereka tentang bolehnya rokok yaitu Al Ashlu Minal Asyai Al Mubah, asal dari segala sesuatu itu adalah Mubah (boleh) sebelum ada dalil Syar’i yang sharih yang mengharamkannya (كل شيء الاباحة حتي يدل الدليل علي تحريم.)
mereka mengatakan bahwa orang orang yang menuding rokok itu memabukkan dan melemahkan adalah tidak benar, karena mabuk adalah hilangnya akal yang dibarengi oleh gerakan tubuh sedangkan narcolepsy adalah hilangnya akal tidak sadarkan diri, dan kedua hal tersebut tidak terdapat dan terjadi pada si perokok, sehingga tidak dibenarkan untuk mengharamannya. Adapun masalah pemborosan dan menghambur hamburkan uang bukan hanya dalam hal rokok dan masih banyak hal lain yang lebih besar dimana dihambur hamburkannya uang.
Al-Bazzar dan Al-Thabraniy dari Abu Al-Dardak mencatatkan sbb:
ماأحل اللـه فهو حلال وماحرم فهو حرام. وماسكت عنه فهو عفو فاقبلوا من اللـه عافية فإن اللـه لم يكن ينسى شيئا .
(Apa yang dihalalkan oleh Allah, itulah yang halal. Dan apa pula yang diharamkan oleh Allah, itu pula yang haram. Sedangkan sesuatu yang didiamkan oleh Allah, itu merupakan kebolehan. Justru terima saja yang dimaafkan itu, dan hal tersebut bukan disebabkan kealfaan Allah).
Kemudian Syeikh Mustafa Assuyuti Arrahbani dalam Syarah “Ghayatul Muntaha” dalam fiqh Hanbali : Semua orang yang meneliti masalah ini haruslah bersumber dari Ushuluddin dan cabang cabangnya tanpa harus mengikuti hawa nafsu, sekarang orang orang bertanya tentang hukumnya rokok yang semakin populer dan telah diketahui oleh semua orang, kemudian beliau membantah dalil orang orang yang mengharamkannya disebabkan oleh mudharat terhadap akal dan badan dengan membolehkannya, karena asal dari segala sesuatu yang belum jelas
dharar dan juga nashnya adalah mubah (boleh) kecuali bila ada dalil nash yang Sharih tentang pengharamannya.
IV. Pendapat yang tidak menetapkan hukumnya tapi menjelaskannya secara terperinci
Pendapat ini tidak menentukan dan menetapkan hukumnya merokok namun menjelaskannya secara terperinci, mereka mengatakan bahwa tembakau pada dasarnya adalah tumbuhan yang suci tidak memabukkan dan tidak membawa mudharat, hukum asalnya adalah mubah dan hukum tersebut bisa berubah ubah dalam hukum syar’i sesuai dengan keadaan dan kondisi. Jika seseorang merokok namun tidak berdampak negatif terhadap akal dan badannya maka hukumnya adalah Mubah (boleh). Jika rokok berdampak negatif dan membahayakan si perokok maka hukumnya adalah Haram, sama halnya dengan larangan mengkonsumsi madu jika madu tersebut berdampak negatif bagi pengkunsumsinya. Jika rokok itu bermanfaat, digunakan untuk penangkal mudharat atau sebagai obat, maka hukum merokok itu adalah wajib.
V. Pendapat Ulama Modern
1.      Syeikh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Mesir), mengatakan bahwa asal
dari hukum merokok adalah Mubah kemudian menjadi haram dan makruh
karena beberapa hal, diantaranya adalah adanya dampak negatif yang
ditimbulkan oleh rokok baik mudharatnya sedikit atau banyak terhadap
diri dan harta dan membawa ke kerusakan, melalaikan tugas dan kewajiban
semisal tidak memberi nafkah kepada istri dan anak dan orang orang yang
berhak mendapatkan nafkah disebabkan karena hartanya habis dibelanjakan
untuk rokok. Kalau hal ini benar benar terjadi berati hukum merokok
adalah makruh bahkan haram dan apabila tidak ad salah satu diantara
mudharat tersebut di atas maka hukum merokok adalah halal.
2.      Al Alamah Asyeikh Muhammad bin Mani’, ulama besar Qatar dan sebagaian
besar ulama Najd mengharamkannya. Sebagaimana dalam risalah ulama Najd
dan Syarah Ghayatul Muntaha hal 332 oleh Syekh Muhammad bin Mani’.
3.      Assyeikh Mahmud Syaltut (Syaikhul Azhar) dalam fatawanya mengatakan :
Meskipun tembakau tidak memabukkan dan tidak merusak akal namun mempunyai dampak yang sangat negatif yang dirasakan oleh perokok terhadap kesehatannya dan juga dirasakan oleh perokok pasif. Ilmu kedokteran telah menjelaskan mudharat yang ditimbulkan oleh rokok sehingga tidak diragukan lagi kalau rokok adalah penyakit yang berbahaya baik secara islam maupun secara umum, dan jika kita melihat banyaknya harta dan uang yang dihabiskan untuk membelanjakan hal hal yang tidak bermanfaat seperti rokok maka dapat dikatakan bahwa tembakau (rokok) itu mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan dan harta dimana hal itu diharamkan dan dimakruhkan dalam Islam. Di dalam Islam penentuan suatu hukum tentang pengharaman dan pemakruhan tidak mesti
harus berdasarkan Nash dan dalil khusus tentang hal tersebut tapi cukup
dengan mengetahuinya.
4.      DR.Yusuf Qardhawi dalam karyanya yang terbesar “Hadyul Islam Fataawi Mu’aashirah” telah mengomentari Hukum Rokok namum tidak satu pun ditemukan di dalamnya bentuk hukum yang qath’i tentang rokok tersebut.
a.       Barang siapa yang menggunakannya tapi tidak menimbulkan muderat pada badan atau akalnya, maka hukumnya adalah jaiz (boleh).
b.      Barang siapa yang apabila menggunakannya menimbulkan muderat, maka hukumnya haram, seperti orang mendapatkan muderat bila menggunakan madu.
c.       Barang siapa yang memanfaatkannya untuk menolak mudarat, semisal penyakit, maka wajib menggunakannya
Al-Quran pun telah menegaskan tentang protes “hak menetapkan dua hukum (halal dan haram)” tersebut kepada Nabi Muhammad saw. Dalam QS. 10 Yunus: 59 berbunyi sebagai berikut :
(قل ارايتم ما انزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراماوحلالاقل الله اذن لكم ام علي الله تفترون)
(Katakanlah: “Kan sudah pernah kamu lihat, di mana rezki yang diberikan Allah kepada kamu, lalu kamu kelancangan memberi prediketnya, halal dan haram. Tegaskanlah: “Apakah Allah Telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah).
5.      Syekh Muhammad bin Sholeh bin ‘Utsaimin
“Telah dikeluarkan sebuah fatwa dengan nomor: 1407, tanggal 9/11/1396H, dari Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa di Riyadh, sebagai berikut: “Tidak dihalalkan memperdagangkan rokok dan segala sesuatu yang diharamkam karena dia termasuk sesuatu yang buruk dan mendatangkan bahaya pada tubuh, rohani dan harta. Jika seseorang hendak mengeluarkan hartanya untuk pergi haji atau menginfakkannya pada jalan kebaikan, maka dia harus berusaha membersihkan hartanya untuk dia keluarkan untuk beribadah haji atau diinfakkan kepada jalan kebaikan, berdasarkan umumnya firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمِ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيْهِ (ألبقرة:267
“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata darinya “ (Al Baqarah: 267)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak akan menerima kecuali yang baik “ (al Hadits)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Demikian pendapat para ulama mengenai hukum rokok (merokok) dalam Islam yang sengaja dipaparkan, sebagai bahan acuan dalam mendidik anak maupun murid dengan hikmah dan mau’idzhah bukan dengan kekerasan yang akan mempengaruhi physic dari anak dan murid tersebut yang malah membawa ke kehancuran. Masih banyak hal hal besar yang telah jelas jelas pengharamannya yang perlu diperhatikan dibanding rokok yang masih saja menjadi ikhtilaf ulama dari dulu sampai saat ini.
Menurut pendapat saya bahwa merokok adalah suatu yang dianggap merugikan dan banyak terdapat madhorotnya maka dari itu merokok adalah makruh karena tidak ada dalil yang spesifik yang menerangkan tentang merokok. Tetapi juga bisa menjadi haram jika rokok dapat menghancurkan dirikita dan menjadikan kita orang yang suka menghambur hamburkan uang, serta kepentingan yang seharusnya kita penuhi tudak terpenuhi. Misalnya kepentingan belajar dikalhkan dengan kegiatan merokok ataupun menafkahi keluarga teledor karena rokok. Juga dari segi mengganggu orang lain maka rokok dapat dikategorikan makruh karena dapat mengganggu kkalayak yang ada disamping kita karena agama islam adalah agama yang penuh dengan perdamaian dn akhalakul kharimah misalnya akhlak tasamuh terhadap sesama. tetapi pada dasarnya merokok adalah suatu yang tidak ada dalil yang Qot’I dan jelas jelas mengharmkan rokok dengan jelas, yang banyak hanyalah dalil dalil yang dhonni, dengan demikian maka hokum asal suatu yang tidak ada dililnya adalah mubah. Seperti kaidah usyuliah yaitu (كل شيء الاباحة حتي يدل الدليل علي تحريم.) dari kaidah tersebut bahwa suatu hal yang tidak ada kepastiannya asalnya adalah mubah(boleh). Kalau menjadi makruh bahkan haram mungkin pada konteks yang berbeda dan pada situsi yang berneba yang mengakibatkan madhorot bagi prnggunanya. Juga pada suatu waktu pada zaman rosululloh telah dikritik oleh Allah karena beliau telah menghukumi suatu.
Nabi Muhammad saw pun telah menegaskan  [tercatat dalam Sunan Abu Daud dari Ibnu Abbas (No.3306) sbb]:
كان أهل الجاهلية يأكلون أشياء ويتركون أشياء تقذرا. فبهث اللـه تعالى نبيه وأنزل كتابه وأحلّ حلاله وحرم حرامه. فماأحل فهو حلال وماحرم فهو حرام. وماسكت عنه فهو عفو وتلا : .
Masyarakat jahiliyah memakan segenap sesuatu, lalu menafikan pula segenap sesuatu karena menganggap kotor. Lalu Allah mengutus nabi-Nya serta memberikan ketetapan penting, di mana Allah sudah menghalalkan sesuatu, dan sudah pula mengharamkan sesuatu. Yang halal itulah halal, dan yang haram itu pula yang haram. Sedangkan sesuatu yang tidak disebutkan merupakan  kebolehan.
Dari penjelasan tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa suatu yang tidak dijelaskan secara qot’i dalam alquran maupun alhadits adalah dianggap suci dan halal. Kehalallan keharoman  suatu merupakan keputusan dari Allah sebagai manusia kita hanya bisa menalar dan meliahat dengan acuan apa yang sudah ditetapkan pada Al quran.

Rabu, 01 Juni 2011

Ikhlas Dalam Pandangan Sufi


Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut mereka ibadah haruslah mengedepankan cinta (mahabbah) saja kepada Allah. Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?

Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa
“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)

“Ya Allah! Aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.)
Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah.

Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai. Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya.
Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah. Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”.

Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ?

Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?”

Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun. Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep, yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut. 

Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian. Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil. 

Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia. 

Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).